Tragedi G30S/PKI dan Pentingnya Kedewasaan Demokrasi

Sejarawan Undip, Singgih Tri Sulistiyono, menilai tragedi G30S/PKI merupakan refleksi pentingnya mewaspadai politik adu domba dan pentingnya kedewasaan dalam berdemokrasi untuk menjaga keutuhan bangsa. Pelajari lebih lanjut pandangannya mengenai sejarah kelam Indonesia ini.

Jakarta (30/9) – Tragedi G30S/PKI yang terjadi pada 30 September 1965 menjadi catatan sejarah kelam yang masih meninggalkan jejak mendalam bagi bangsa Indonesia. Peristiwa berdarah yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) tersebut bertujuan untuk menggulingkan kekuasaan Presiden Soekarno dan mengganti ideologi dasar negara dari Pancasila menjadi Komunis. Menurut Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro (Undip), Singgih Tri Sulistiyono, peristiwa tersebut merupakan akibat dari dominasi ideologi Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (NASAKOM) yang diterapkan sejak era Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959-1965 di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno.

“Semua kelompok saat itu saling bersaing dan berebut kekuasaan. Persaingan tersebut dijalankan dengan berbagai cara, mulai dari isu kebudayaan, agama, hingga politik ideologi, yang akhirnya memunculkan konflik terbuka antara kekuatan PKI dan kekuatan nasionalis agama,” ujar Singgih, yang juga merupakan Ketua DPW LDII Jawa Tengah sekaligus Ketua DPP LDII.

Singgih menambahkan bahwa upaya PKI mencapai puncaknya dengan meletusnya pemberontakan Gerakan 30 September yang menyebabkan enam perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI Angkatan Darat dibunuh secara sadis. Tragedi tersebut menjadi puncak dari politik adu domba antara Blok Barat yang liberal kapitalis dan Blok Timur yang sosialis komunis, yang berusaha mempengaruhi kekuatan lokal nasional untuk mengikuti salah satu blok.

“Peristiwa G30S/PKI menjadi titik balik sejarah Indonesia yang memperkuat posisi Pancasila sebagai dasar negara. Tragedi ini mengajarkan kita akan pentingnya menjaga persatuan dan nilai-nilai kebangsaan, serta menjadi pengingat terhadap bahaya ideologi ekstrem dari kekuatan asing yang tidak sejalan dengan prinsip Pancasila,” tegasnya.

Lebih lanjut, Singgih menekankan pentingnya penerapan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Menurutnya, G30S/PKI mengingatkan bangsa Indonesia agar bermawas diri dalam menghadapi pengaruh perang ideologis.

“Pelajaran yang bisa diambil dari tragedi ini adalah kita harus hati-hati dengan politik adu domba baik dari kekuatan asing maupun kekuatan dalam negeri. Solusinya adalah dengan mengaktualisasikan dan memurnikan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai basis kekuatan ideologi bangsa dan negara,” paparnya.

Singgih juga menyoroti pentingnya kedewasaan dalam berdemokrasi. Perbedaan pendapat, lanjutnya, merupakan sebuah keniscayaan mengingat Indonesia adalah bangsa yang plural dengan keberagaman suku, agama, dan ras. Pancasila, menurut Singgih, menjadi titik temu dan solusi untuk menyatukan perbedaan tersebut dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

“Demokrasi yang kita kembangkan harus demokrasi yang dewasa. Demokrasi adalah perbedaan pendapat dan pandangan yang kemudian dimusyawarahkan, lalu diambil jalan keluarnya. Kalau itu sudah merupakan keputusan bersama, kita laksanakan demi kepentingan bersama,” tutup Singgih.


- G30S/PKI
- Sejarah G30S/PKI
- Tragedi G30S/PKI
- Refleksi Sejarah G30S/PKI
- Politik Adu Domba Indonesia
- Pentingnya Demokrasi Dewasa
- Pandangan LDII tentang G30S/PKI



Lebih baru Lebih lama
sidoarjofile.com - Menguak Yang Tersembunyi